Kamis, 30 Juli 2009

TEGAL ARUM VS GUMARANG



Tegal Arum
Tidak terasa waktu bergerak begitu cepat, hari ini merupakan hari terakhir berada di kampung halaman tercinta karena harus kembali ke dunia kerja sebagai kewajiban seorang suami mencari nafkah anak istri tercinta. Siang itu sebagaimana biasanya masih terasa panas walau mentari belum mencapai puncaknya, jam digital hp menunjukkan pukul 09.54 WIB. Kereta api yang ditunggu telah tiba dan langsung memburu pintu masuk. Agak susah memang masuknya karena berjubel orang-orang disana menghalangi jalan masuk, mereka adalah para penumpang yang akan menuju Jakarta ibukota Indonesia, dengan berbagai alas an orang pergi kesana; ada yang memang untuk kerja, berdagang, ada hanya sekedar mengadu nasib, ada pula yang uncaknya, jam digital hp menunjukkan pukul 09.54 WIB. Kereta api yang ditunggu telah tiba dan langsung memburu pintu masuk. Agak susah memang masuknya karena berjubel orang-orang disana menghalangi jalan masuk, mereka adalah para penumpang yang akan menuju Jakarta ibukota Indonesia, dengan berbagai alasan orang pergi kesana; ada yang memang untuk kerja, berdagang, ada hanya sekedar mengadu nasib, ada pula yang menemui kerabat atau saudaranya, tak jarang juga ada yang hanya untuk bermain atau belanja untuk kebutuhan pribadi ataupun untuk dijual kembali.
Kucoba mendesak kearah dalam dan berhasil mendapat ruang yang agak lumayan bisa berdiri leluasa karena semua tempat duduk sudah terisi penuh, banyak perempuan yang berdiri mematung menikmati penderitaan yang sesaat, ya hanya kira-kira tiga atau empat jam. KA Tegal Arum memang KA ekonomi yang bisa memuat orang sampai batas yang tak terkira, sehingga orang-orang berdesakan tanpa ada ampun. Yang membuat lebih sesak tidak lain dan tidak bukan adalah para pedagang asongan yang menjajakan dagangan khasnya masing-masing berjuang demi menghidupi keluarganya, berpeluh dengan kepala menanggung beban yang begitu berat, suara nyaring melengking tanda kemenangan akan segera tiba, berbagai jenis dagangan tersedia dari mulai mimuman ringan, makanan, mainan anak, alat pijat, nasi rames, dan lain sebagainya sehingga membuat suasana siang yang panas bertambah panas lagi.
Stasiun Cikampek sudah dilewati dan waktu sudah menunjukan pukul 10.49 waktu setempat, kereta malaju kearah barat mnegejar dan menyongsong mentari. Masih dalam keadaan kepanasan dan berdesakan, lima menit berselang kereta tiba-tiba berhenti, disebelah kanan perkampungan dan di sebelah kirinya sawah yang hijau luas membentang. Masih dalam keadaan panas ditambah lagi dengan tanda tanya mengapa kereta tiba-tiba berhenti? Dalam kebingungan orang-orang yang setia dengan posisinya masing-masing coba untuk menebak apa gerangan yang terjadi? Akhirnya pedagang asongan yang juga setia menjajakan asongan membawa kabar berita paling heboh saat itu, bagaimana tidak heboh, lokomotif rusak dan harus menunggu kiriman lokomotif yang baru dari Jakarta dan itu akan mamakan waktu paling cepat satu jam. Memang hanya satu jam saja tidak terlalu lama kalau menunggu dalam suasana yang tenang, tidak kepanasan dan lain sebagainya. Entah ada komando atau sudah tahu gelagat sebelumnya pedagang asongan malah bertambah banyak, semakin merianya suasana siang itu, orang-orang ada yang berhamburan keluar mencari udara segar dan suasana lain, sebagian lagi menunggu sebuah penantian yang entah kapan akan berakhir. Percayalah semua akan berakhir jadikanlah semua itu sebagai cobaan hidup dan nikmatilah, esok atau lusa akan merasakan betapa hari itu adalah hari yang paling anda nantikan dalam sepanjang hidup ini dan bukan tidak mungkin itulah hari-hari yang tidak akan anda lewati kelak di kemudian hari.
Pukul 12 lewat kereta mulai bergerak pelan tapi pasti, harapan baru akan segera terpenuhi, sampai akhirnya kereta berhenti kembali di stasiun Kosambi Karawang. Rupanya disitu lokomotif kiriman dari Jakarta berhenti menanti kerinduan yang didambakan semua orang-orang yang mulai berwajah ceria dengan datangnya sang malaikat lokomotif pembawa kabar baik. Setelah melewati berbagai rintangan orang-orang mulai menikmati angin segar yang keluar dari jendela kereta mulai menata mimpi-mimpi yang sempat terkoyak. Tidak banyak orang yang tahu dan bahkan tidak banyak yang peduli bagaimana lokomotif itu sampai juga membawa kembali menelusuri rel, melewati stasiun demi statiun tanpa berhenti dari mulai stasiun karawang, stasiun kedunggedeh, stasiun lemah abang, stasiun tambun, stasiun bekasi, stasiun cakung dan akhirnya berhenti di stasiun jatinegara.
Tepat pukul dua siang langkah kaki sudah berada di sekitar stasiun Jatinegara, tapi stasiun ini bukan tujuan akhir, perjalanan ini masih panjang masih harus menunggu kereta sore nanti. Sang perut sudah dari tadi menantang, para cacing sudah tak sabar lagi. Melangkah pasti menuju sebuah Rumah Makan Padang yang tidak jauh dari stasiun Jatinegara. Setelah sekian lama berdiri mematung di kereta tadi akhirnya kuhempaskan disebuah kursi setelah pesan makanan lebih dulu. Alhamdulillah begitu terasa nikmat setelah sekian lama dalam penantian sebuah kursi akhirnya terjawab sudah. Hidangan sudah di sajikan tak sabar segera melahap habis tanpa sisa, sebelumnya kirim kabar ke istri tercinta tentang keadaan yang telah terjadi, semua telah berakhir.
Gumarang
Menunggu lagi, sambil menanti shalat asyar tiba, lihat-lihat dulu di stasiun, banyak yagn mengantri beli tiket lokal maupun luar kota, ada yang untuk hari ini, besok ataupun lusa mungkin juga minggu depan. Banyak yang sudah mulai masuk menunggu diruang tunggu, ada yang Cuma ngantar terus pulang lagi setelah yang diantar masuk. Adzan berkumandang di Mushola depan stasiun Jatinegara, segera kulangkahkan kaki menyebrangi jalan yang padat oleh kendaraan. Jemaah lumayan padat untuk ukuran mushola yang mungil itu, setelah selesai shalat berjamaah selonjoran dulu meluruskan kaki yang sudah mulai terasa pegal, loket tiket baru di buka kurang dari satu jam lagi, jadi masih cukup waktu untuk istirahat sejenak.
Pukul empat sore kembali ke stasiun mengantri di loket yang belum dibuka, meski belum dibuka tapi antrian sudah ada dan kebagian antrian ke empat, pada antrian ke tiga seorang bapak-bapak yang mau mudik ke Purwokerto sempat berbincang-bincang seputar kereta dan kerjaan serta alamat tempat tinggal sampai akhirnya loketpun dibuka satu demi satu petugas loketpun melayani dengan ramah, dan sampai dapat giliran untuk beli tiket gumarang eksekutif, tapi walhasil tinggal yang bisnis, apa boleh buat dari pada tidak sampai ke tempat tujuan? Relakan saja hari ini akan menjadi kenangan sepanjang sejarah perjalanan.
Masuk diruang tunggu sudah banyak orang disana tinggal tersisa satu kursi, tidak disia-siakan sebelum ada orang lain yang memakainnya. Beli minuman pelepas dahaga sambil setia menunggu sang waktu yang terus bergulir, setia berdetak tiap detik tanpa rasa lelah dan bosan. Shalat magrib sudah bisa dilaksanakan dengan di tandai dengan suara adzan di Mesjid stasiun Jatinegara, kukerjakan salah satu kewajiban seorang muslim dengan ditutup dengan doa. Keluar dari ruang tunggu dan mengantri menunggu datgangnya kereta api gumarang jurusan Jakarta Surabaya pasar turi. Ada pengumuman dari pengeras suara bahwa kereta gumarang akan datang terlambat, jadi ingat lagunya bang Iwan Fals, kereta biasa datang terlambat …… memang dari dulu kali ya?
Sepuluh menit setelah waktu yang dijanjikan di tiket kereta gumarang pun tiba, kuhitung satu demi saatu gerbong yang bergerak lambat, sampai pada gerbong ke tujuh begitu yang tertera di tiket, gerbong tujuh dengan nomor kursi 14D sisi jendela. Tidak susah mencari kursi dengan nomor itu langsung saja ambil posisi nyaman, masih gerah dan sedikit panas malum cuma ada kipas angin yang anginnya tidak sampai ke sisi jendela hanya semilir angin dari luar jendela atas saja yang bisa membantu agar tidak terlalu panas, kubuka jaket yang sejak tadi kupakai, barulah suasana sedikit nyaman. Kereta mulai melaju pelan pada awalnya dan terus menerobos angin malam yang mulai menggeser suasana siang.
Dua jam berlalu, waktu menunjukan pukul delapan lewat empat belas malam tepat melewati stasiun Pagaden Baru yang tadi siang berangkat dari stasiun itu, rasanya baru sebentar saja dua minggu libur tak terasa kini harus berangkat lagi menyongsong hari-hari kerja yang menjemukan, demi menunaikan sebuah kewajiban hari-hari harus dianggap indah supaya bisa dilewati dengan tenang. Tak terasa perut menendang-nendang seakan berharap ada sesuatu yang masuk, orang yang bertugas menjajakan makan malam kebetulan lewat, langsung saja beli satu kotak nasi goring tak masalah soal harga namanya juga lagi lapar, jadi teringat lagunya mbah surip ‘tukang nasi goreng hilang ditengah malam….sampe sekarang dia belum pulang….. kemana yah …oooooooo…..’
Setelah selesai manyantap nasi goring sampai butiran terakhir, mata mulai terasa perih, ngantuk, cape, kusandarkan lagi punggung ini kekursi kucoba menutup mata sekedar mananti datangnya pagi dating berharap secepatnya. Kurang lebih pukul sepuluh malam mata terbangun karena banyak suara pedagang asongan yang mulai ramai manjajakan dagangannya satu demi satu, ternyata kereta sudah sampai stasiun Cirebon, Kejaksan. Menghela nafas meneliti para pedagang satu demi satu, ada yang jual makanan, minuman, sale pisang, mie rebus, kopi, oleh-oleh, dan banyak lainnya. Malam sudah mulai larut tapi para pekerja keras tak menyerah demi mengais rejeki yang dijanjikan Yang Maha Pemurah Allah Subhanahu Wata’ala.
Keretapun mulai bergerak sesaat setelah pengeras suara lantang agar kereta api gumarang segera meninggalkan stasiun Cirebon menuju tempat tujuan akhir yaitu Surabaya Pasar Turi. Kereta apai menembus gelapnya malam menerobos dingin angin yang semilir berhembus, hanya suara langkah kaki-kaki roda kereta gemeretak sombong dengan keperkasaannya, tak dirasakan beban berat yang sedari siang tadi berguling entah sudah berapa putaran. Kupasang alarm hp jam empat empat belas, kutarik nafas sejenak dan kucoba lagi pejamkan mata, rasanya baru sebentar mata terpejam sudah ada suara orang-orang menjajakan dagangannya, tapi tak terpengaruh kulanjutkan bermimpi dan terus bermimpi. Kali ini mata ini bisa terbuka kulihat sebuah stasiun yang cukup besar setelah kuperiksa ternyata benar stasiun Semarang tawang, waktu telah menunjuk pukul dua dini hari, kulihat dari jendela dua pasang suami istri yang rupanya baru pulang dari Umrah telah menanti para kerabatnya menjemput. Dari bawaannya sudah bisa di tebak, air zam-zam beberapa botol besar, koper ukuran sedang serta seragam khas batik yang mereka kenakan dengan tidak lupa kopiah hajinya.
Perjalanan malam tidak banyak yang bisa dilihat, hanya gelap malam yang tak tertembus, sesekali warna-warni lampu dengan kelap-kelipnya seumpama kunang-kunang di tengah hutan belantara. Suara pedagang asongan lenyap setelah kerata bergerak, sesekali terdengan ada yang mengobrol sekedar melepas ketegangan dan melewati malam dengan cepat, selebihnya menata mimpi indah yang tak mungkin bisa diraih dalam dunia nyata. Tak terasa mataku mulai merasakan lelahnya sang malam, pagi masih terasa lama untuk dinanti, kucoba ukir mimpi yang hilang siap tahu kembali datang. Sekejap saja mata ini terpejam, belum sang mimpi menampakan diri, alarm sudah berbunyi ya empat lewat empat belas menit, kereta masih melaju dengan pasti, bergerak tak kenal lelah menerobos dinginnya pagi. Stasiun-stasiun kecil dilewati dengan gagahnya tanpa permisi, perkampungan, pesawahan dilewati dengan senyum keangkuhan. Waktu terus bergerak perlahan tapi pasti, sementara laju kereta semakin melambat pertanda akan ada pemberhentian, memang tak salah dugaan kereta akhirnya berhenti di stasiun yang dinanti, Cepu. Untuk memastikan bahwa itu benar-benar stasiun Cepu kutanyakan pada simbo yang jualan nasi pecel sambil melangkah keluar kereta.
Kupijakkan kaki distasiun cepu setelah sekian lama dalam penantian akhirnya sampai juga. Para tukang becak dan tukang ojek motor menawari dengan semangatnya, ada satu tukang ojek yang langsung membawa sepeda motornya langsung adu tawar harga, setelah cocok baru bergerak secepat angin berlalu. Pagi yang cerah tidak terlalu dingin, jalan masih lengang pertokoan masih tutup, talkada orang lalu lalang, terus menerobos sang pagi didepan sana banyak kerumunan orang pertanda ada pasar dan yang pasti tinggal hitungan detik saja akan sampai pada akhir tujuan itu. Terimakasih kuucapkan kepada tukang ojek yang telah mengantar dengan selamat sampai tempat tujuan dan tidak lupa membayar ongkos sesuai kesepakatan. Berakhir pula kisah dua kereta api dengan ciri khasnya masing-masing, kadang ada rasa miris, rasa ingin tersenyum bahkan tertawa kadang juga menjengkelkan semua tinggal kenangan, selamat tinggal tegal arum, selamat tinggal gumarang, mungkin kelak kita akan jumpa lagi dalam suasana yang berbeda penuh tawa ceria dan gurau canda merekah. Terimakasih telah mengantarkanku samapai ke tempat tujuan. Terimakasih semuanya.